Pedoman Perhitungan Pengkreditan Pajak Masukan Berdasarkan PMK Nomor 74/PMK.03/2010

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2010 terbit untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (7b) UU PPN 1984. PMK ini mengatur tentang pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang mempunyai peredaran usaha tidak melebihi Rp1.800.000.000.

Ketentuan umum
1. Pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan (selanjutnya disebut pedoman pengkreditan) bersifat opsional bersyarat. Artinya, apabila telah memenuhi syarat, Anda dapat menggunakan pedoman pengkreditan atau tetap menggunakan mekanisme pajak masukan dengan pajak keluaran (selanjutnya disebut mekanisme PMPK).

Syaratnya, Anda sebagai PKP:
a. mempunyai peredaran usaha dalam 2 (dua) tahun buku sebelumnya tidak melebihi Rp1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) untuk setiap 1 (satu) tahun buku; atau
b. baru dikukuhkan sebagai PKP.

2. Jika memenuhi syarat di atas dan hendak memilih untuk mengkreditkan pajak masukan dengan menggunakan pedoman pengkreditan, PKP harus memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat ia dikukuhkan paling lama:
a. (untuk PKP yang peredaran usahanya tidak lebih dari Rp1,8 milyar dalam 2 tahun buku) pada saat batas waktu penyampaian SPT Masa PPN Masa Pajak pertama dalam tahun buku dimulainya penggunaan pedoman pengkreditan;
b. (untuk Wajib Pajak yang baru dikukuhkan sebagai PKP) pada saat batas waktu penyampaian SPT Masa PPN Masa Pajak saat dikukuhkan sebagai PKP.

3. Pada dasarnya, pedoman pengkreditan menghendaki perhitungan Pajak Masukan didasarkan pada besarnya peredaran usaha. Hal ini berbeda dengan mekanisme PMPK yang menghitung Pajak Masukan berdasarkan 10% dari pembelian BKP atau pemanfaatan JKP. Berikut ilustrasinya:
PT Jay55 membeli merchandise (BKP) dari supplier seharga Rp300 juta. Atas pembelian ini, supplier (PKP) memungut PPN dari PT Jay55 sebesar Rp30 juta (10% x Rp300.000.000). Pada masa pajak yang sama PT Jay55 berhasil membukukan penjualan merchandise-nya(BKP) senilai Rp500 juta. Atas penjualan ini, PT Jay55 memungut PPN dari pembeli sebesar Rp50 juta (10% x Rp500.000.000) sebagai Pajak Keluaran.
Dalam mekanisme PMPK, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh PT Jay55 sebesar Rp30 juta– nilai yang sama dengan PPN yang telah dibayarkan kepada supplier. Namun, jika PT Jay55 memilih untuk menggunakan pedoman pengkreditan, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan bukan Rp30 juta melainkan sebesar ([persentase berdasarkan Pasal 7 PMK Nomor 74/PMK.03/2010] x 10% x peredaran usaha). Mengenai perhitungan ini, akan dilanjutkan setelah membahas Pasal 7 PMK tersebut.

4. Pasal 7 mengatur bahwa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan jika PKP memilih menggunakan pedoman pengkreditan adalah sebesar:
a. 60% (enam puluh persen) dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Jasa Kena Pajak; atau
b. 70% (tujuh puluh persen) dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Barang Kena Pajak.

Pasal 8:
(1) Pajak Keluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dihitung dengan cara mengalikan tarif 10% (sepuluh persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(2) Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah peredaran usaha.

Kembali ke ilustrasi PT Jay55 pada poin 3. Berarti, dalam mekanisme pedoman pengkreditan, besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Rp35 juta (7% x Rp50.000.000). Sedangkan dalam mekanisme PMPK besarnya Pajak Masukan adalah Rp30 juta (10% x pembelian merchandise). Dengan demikian, PPN yang wajib disetor oleh PT Jay55 adalah:
a. Rp15 juta (PK Rp50 juta – PM Rp35 juta), jika menggunakan pedoman pengkreditan; atau
b. Rp20 juta (PK Rp50 juta – PM Rp30 juta), jika menggunakan mekanisme PMPK.

Jika menggunakan pedoman pengkreditan, PT Jay55 mencatat begini:
PPN yang dibayar kepada supplier = Rp30 juta
PPN yang dipungut oleh PT Jay55 = Rp50 juta
PPN yang “masih di-keep” oleh PT Jay55 = Rp20 juta (PPN yang dipungut Rp50 juta – PPN yang dibayar Rp30 juta)
PPN yang wajib disetor berdasarkan pedoman pengkreditan = 15 juta
Sisa yang masih dipegang oleh PT Jay55 dan tak perlu disetor = Rp5 juta (Rp20.000.000 – Rp15.000.000)

Sadis!
Lebih untung menggunakan pedoman pengkreditan? Belum tentu. Dalam keadaan tertentu PMK Nomor 74/PMK.03/2010 cukup sadis. Mari saya kita buktikan.

Resume aktivitas usaha PT Jay55 pada bulan berikutnya adalah sebagai berikut:
1. PT Jay55 membeli merchandise (BKP) dari supplier seharga Rp400 juta. Atas pembelian ini, supplier (PKP) memungut PPN dari PT Jay55 sebesar Rp40 juta (10% x Rp400.000.000).
2. PT Jay55 juga membeli barang dagangan non-BKP dari supplier seharga Rp800 juta. Atas pembelian ini tidak terutang PPN.
3. PT Jay55 berhasil membukukan penjualan Rp1,8 milyar, yang terdiri atas penjualan BKP senilai Rp600 juta dan penjualan non-BKP senilai Rp1,2 milyar. Untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) PMK 74/PMK.03/2010 PT Jay55 tetap menggunakan pedoman pengkreditan.

Pasal 6 ayat (2) mengatur, PKP yang menggunakan pedoman pengkreditan harus melakukan secara taat asas dalam 1 tahun buku, sepanjang peredaran usaha dalam 1 tahun buku tidak melebihi Rp1,8 milyar.

Dengan demikian
PM yang dapat dikreditkan = Rp126 juta (70% x 10% x Rp1.800.000.000)
PK = Rp180 juta (10% x Rp1.800.000.000) –sebagai catatan, dalam pedoman pengkreditan, Pajak Keluaran bukanlah 10% dari nilai penyerahan BKP dan/atau JKP tetapi 10% dari peredaran usaha baik BKP, JKP, maupun non BKP dan non JKP. Lihat Pasal 8 dan Pasal 9 untuk mengetahui lebih lanjut.
PPN yang wajib disetor = Rp54 juta (Rp180.000.000 – Rp126.000.000).
Padahal, PPN yang benar-benar telah dipungut oleh PT Jay55 adalah sebesar Rp60 juta (10% x penjualan BKP) dan PPN yang benar-benar telah dibayarkan kepada supplier adalah sebesar Rp40 juta (10% x pembelian BKP). Rugi? Ya! (memungut Rp60 juta, dipungut Rp40 juta, masih harus setor Rp54 juta).

Sebagai perbandingan, jika PT Jay55 sejak semula menggunakan mekanisme PMPK, perhitungannya sebagai berikut:
PM = Rp40 juta (10% x pembelian BKP)
PK = Rp60 juta (10% x penjualan BKP)
PPN yang wajib disetor = Rp20 juta (Rp60.000.000 – Rp40.000.000)

Kesimpulan
1. Dalam mekanisme PMPK, PKP tidak akan membayar PPN. Yang ada hanya menitipkannya kepada supplier dan mengambil kembali dari pembeli, dan sisanya disetorkan kepada negara.
2. Dalam pedoman pengkreditan, PKP bisa mendapatkan keuntungan dari PPN tetapi bisa juga “menombok” PPN. Perhitungan yang cermat dapat menghindari PKP dari resiko kerugian.

NB: Senang sekali jika Anda menulis komentar sebelum menutup halaman ini.

18 comments

  1. so, kalo misalnya penghasilan kita tidak lebih dari 1.8 M, maka kalo disuruh milih antara 2 metode penghitungan tersebut, mana yang lebih bagus?

  2. mas agus, salam kenal,, saya Ary mahasiswa akuntansi UGM yang sedang menempuh skripsi,, kebetulan saya tertarik dengan topik ini (perbandingan PPn dgn PK-PM dan pedoman)..

    boleh saya minta kontak,mas?

    mungkin saya bisa banyak belajar dan tanya2 ttg hal ini..
    mkasih banyak ya mas,,

  3. Pa Agus, ada beberapa hal yg mau saya tanyakan
    1. Apakah pedoman pengkreditan juga belaku untuk industri peseorangan, atau juga indusyri badan
    2. Apakah dengan pedoman pengkreditan, dalam menghitung pph boleh menggunakan pembukuan
    3. Apakah dalam pedoman pengkreditan ppn keluaran yg kita pungut dapat dipakai sebagai ppn masukan oleh pelanggan kita
    Terima kasih dan saya tunggu pencerahannya Pa
    wassalam
    Yusuf

  4. Mas agus , saya mau tanya sedikit .Begini dalam beberapa bulan ini saya menggunakan pedoman pengitungan pengkreditan pajak masukan, perusahaan saya berbentuk jasa. untuk menghitung pajak masukan yg dikreditkan utk jasa adalah 60% dikali jumlah pajak keluaran. Yg jadi pertanyaan apakah jurnal yang harus saya gunakan untuk hitungan hasil 60% tersebut , karena selama ini kita tdk ada pembelian karena kita menjual jasa….. Thx

  5. @ Yusuf, mohon maaf terlambat membalas.
    1. Betul, keduanya bisa. Yang perlu diperhatikan, khusus untuk kegiatan usaha yang semata-mata melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran atau penyerahan emas perhiasan secara eceran, pedoman pengkreditannya mengacu pada PMK 79/PMK.03/2010.
    2. Boleh.
    3. Bisa. Ketentuan pengkreditan Pajak Masukan mengacu pada Pasal 9 ayat (8) UU 42/2009
    Semoga membantu.

  6. Pak Dwi, balasan saya bukan jawaban baku (saya awam dengan akuntansi pajak), tapi prinsipnya kira-kira begini:
    Menurut perhitungan wajar, pajak yang Bapak pungut (Pajak Keluaran) seluruhnya akan disetorkan kembali setelah memperhitungkan pajak yang telah Bapak bayarkan (Pajak Masukan). Misalnya,
    – Fee atas jasa selama satu masa pajak = 500 juta; Pajak Keluaran = 50 juta
    – perusahaan tidak melakukan pembelian pada masa tsb; Pajak Masukan = 0
    Pajak yang harus disetor = 50 juta

    Dengan menggunakan pedoman pengkreditan, Pajak Masukan tidak lagi nol tetapi menjadi 30 juta (60% x PK). Efeknya, pajak yang harus disetor = 20 juta. Artinya, perusahaan Bapak ‘untung’ 30 juta. Saran saya, jurnalnya begini: (sila kalau ada yang ingin mengoreksi)

    Menyerahkan jasa
    Cash/Account Receivable (D) 500 juta
    Fee (K) 500 juta

    Memungut PPN
    Cash (D) 50 juta
    PK (K) 50 juta

    Menyetor PPN
    PK (D) 50 juta
    Cash (K) 30 juta
    Other income (K) 20 juta

  7. maaf sblmnya, sy agak bingung dg cntoh yg pdoman pnghitungan pngkreditan PM nya, knapa PKP hrs setor 54jt lg, bukannya justru dia untung 6jt krn dpt PK 60jt tp hnya hrs setor 54jt?? Mksd sy, kalo misalnya PKP itu memungut 60jt, dipungut 40jt, ttpi msh hrs byr 54jt, brrti yg cntoh sblmnya itu PKP hrsnya memungut 50jt, dipungut 30jt, dn hrs setor 15jt pd kas negara?? Maaf mngkn sy yg kurang paham, mhn pncerahannya..

    trus sy mau tanya jg, apa gk seharusnya memang kalo pdoman pnghit. pngkreditan PM lbh mnguntungkn drpd mekanisme umum PKPM spy memenuhi prinsip keadilan, yg peredaran usaha ny besar dikenai pajak yg lbh besar?

    Terima kasih bnyk jk brkenan mnjawab.. 🙂

  8. @ Arifah: saya coba jawab, silakan disanggah kalau tidak sependapat, supaya saya juga bisa belajar.

    sy agak bingung dg cntoh yg pdoman pnghitungan pngkreditan PM nya, knapa PKP hrs setor 54jt lg, bukannya justru dia untung 6jt krn dpt PK 60jt tp hnya hrs setor 54jt??

    Ingat, waktu beli dia udah dipungut 40 juta. Coba telusuri dari awal:
    1. Beli BKP kepada supplier senilai 400 juta, dia dipungut sama supplier sebesar 40 juta.
    2. Jual BKP ke pembeli senilai 600 juta, dia memungut sebesar 60 juta dari pembeli.
    3. Kalo pakai pedoman pengkreditan, mesti setor lagi ke kas negara sebesar 54 juta.
    Resume: keluar 40, dapat 60, keluar 54 = nombok 34. Mudah-mudahan pertanyaan yang ini sudah clear.

    brrti yg cntoh sblmnya itu PKP hrsnya memungut 50jt, dipungut 30jt, dn hrs setor 15jt pd kas negara??

    Betul. Mohon maaf kalau kurang jelas, tetapi benar begitu maksud saya. Dapat 50, keluar 30, keluar 15= dapet 5 juta dari uang pajak.

    apa gk seharusnya memang kalo pdoman pnghit. pngkreditan PM lbh mnguntungkn drpd mekanisme umum PKPM spy memenuhi prinsip keadilan, yg peredaran usaha ny besar dikenai pajak yg lbh besar?

    Yang saya bold menurut saya salah total. Sedikit berteori ya, prinsip dasar PPN itu mengenakan pajak hanya pada konsumen akhir. Jadi, pada kondisi ideal, seharusnya produsen dan pedagang perantara tidak dikenakan PPN, berapa pun omzetnya. Mekanisme PKPM mewadahi prinsip ini, di mana pajak yang harus disetor = pajak yang kita pungut dikurang pajak yang sudah dipungut pihak lain. Semua yang dipungut oleh produsen/pedagang perantara disetor habis. Tidak sisa, tidak nombok. Cuma konsumen yang terbebani PPN.

    Kelemahan PKPM, pengusaha harus tahu berapa pajak masukannya. Untuk tahu pajak masukan, dia harus bisa bikin pembukuan. Maka dikasih kelonggaran: untuk pengusaha dengan omzet 1,8M selama dua tahun, boleh deh menggunakan pedoman pengkreditan. Sebab pengusaha dalam kriteria tersebut biasanya pengusaha kecil yang nggak bisa bikin pembukuan.

    Dengan pedoman pengkreditan, pengusaha tinggal hitung berapa omzetnya. Ketemu berapa kewajiban setor PPN-nya, yakni 30% (jika BKP) atau 40% (jika JKP) dari omzet. Tapi namanya metode alternatif, sudah tentu tidak lagi memenuhi prinsip PPN, artinya pengusaha bisa untung dari uang pajak atau bisa nombok.

  9. okee, terima kasih sdh mnjelaskan, sudah lbh memahami skrng, terutama ttg kalo pngusaha yang omzetnya kurang dari 1,8 M bebas memilih cara pnghitungan pngkreditannya, mana yg lbh mnguntungkan bagi pngusaha itu..

    Dengan pedoman pengkreditan, pengusaha tinggal hitung berapa omzetnya. Ketemu berapa kewajiban setor PPN-nya, yakni 30% (jika BKP) atau 40% (jika JKP) dari omzet. Tapi namanya metode alternatif, sudah tentu tidak lagi memenuhi prinsip PPN, artinya pengusaha bisa untung dari uang pajak atau bisa nombok.

    nah utk prnyataan di atas, agak sedikit janggal, pajak yang harus disetor bukannya 10% dari 30 atau 40 % dari omzet ya??

  10. Salam kenal mas Agus…saya mau tanya, klo pake cara PMPK yg spt dijelaskan mas agus bagaimana cara pelaporannya ya mas?apakah bukti FP dari PM/Suplier dilampirkan? terimakasih….

  11. salam kenal dan terima kasih banyak mas agus,artikel anda sungguh membantu sy dalam membuat tugas akhir saya..

  12. Halo pak agus..sy mau tanya.
    Sy PKP OP..sy sering beli/kulakan BKP tp gak dpt FP,jd gak bs dikreditkan ya..kalo pake PKPM kan sama aja nyetor PPN banyak karena PM gak diakui..jd mending sy pake pedoman ya pak?gimana pak?
    Makasih

Leave a comment